-->
Sumber: http://luar-negeri.kompasiana.com/2012/01/06/hari-jumat-30-desember-2011-dihapus-di-samoa-dan-tokelau/
Hanya beberapa jam jelang tahun 2011
mengakhiri perjalanannya, sebuah kejutan meletup dari tengah-tengah perairan
Samudera Pasifik. Samoa dan teritori Tokelau memutuskan untuk bersama-sama
mengubah zona waktu sekaligus mengubah posisi mereka terhadap garis batas
tanggal internasional (International Date Line atau IDL) yang melintas di dekat
wilayah mereka. Jika kedua lokasi tersebut semula terletak di sebelah timur
garis tersebut, perubahan di akhir 2011 membuat keduanya bergeser menjadi ke
sebelah barat garis. Keputusan ini dilakukan dengan menghapus hari Jumat 30
Desember 2011. Sehingga setelah Kamis 29 Desember 2011 disusul dengan hari
Sabtu 31 Desember 2011.
Sontak dunia pun geger. Sebagian
berpandangan romantis, sebab dapat menikmati 1 Januari 2012 selama dua hari
berturut-turut di dua lokasi berbeda yang hanya berselisih beberapa ratus km
yakni di Samoa dengan teritori Samoa Amerika. Sebagian terperangah. Bagaimana
bisa lokasi yang terletak di wilayah Bujur Barat (BB), tepatnya di sekitar
garis 170-172 BB yang secara tradisional memiliki waktu lokal terlambat
dibanding waktu Universal (Greenwich) masing-masing terlambat 10 jam dan 11 jam
untuk Tokelau dan Samoa, secara radikal memutuskan mengubahnya jadi lebih cepat
14 jam dan 13 jam masing-masing untuk Tokelau dan Samoa. Sementara sebagian
lainnya hanya bisa bengong. Betapa tidak. Sistem kalender Gregorian, yang
diklaim memiliki ketegasan dan akurasi tersendiri sehingga sanggup diterapkan
secara global, ternyata juga memiliki masalah serupa yang menghinggapi kalender
Hijriyyah dalam penentuan hari dan tanggal untuk negara-negara yang berdekatan.
Peristiwa penghapusan satu hari di Samoa dan Tokelau
merupakan sisa dari permasalahan yang berakar ke masa lebih dari seabad silam.
Kala itu, tepatnya tahun 1884, negara-negara terkemuka di dunia melangsungkan
Konferensi Meridian Internasional dengan satu topik bahasan : menentukan lokasi
garis bujur utama alias garis bujur nol. Posisi garis bujur nol sangat penting
seiring berkembangnya jalur-jalur perdagangan dalam pelayaran samudera. Era
penjelajahan samudera berabad-abad sebelumnya dihinggapi problem : berbedanya
perhitungan waktu antara sebuah kapal yang usai mengelilingi dunia dengan
pelabuhan tempat bertolak dan tujuannya, dengan selisih satu hari. Selisih ini
mencerminkan adanya perbedaan hari dan tanggal antara sebuah belahan Bumi
dengan belahan lainnya. Batas dua belahan tersebut lantas diformalkan sebagai
garis batas tanggal internasional. Penentuan bujur nol sekaligus akan
menentukan pula posisi garis tanggal tersebut.
Berbeda dengan garis-garis lintang yang dapat ditentukan
secara obyektif dengan mendasarkan posisi benda langit (misalnya Matahari), tak
ada cara serupa guna menetapkan garis-garis bujur, termasuk bujur nol. Sehingga
dimana lokasi bujur nol berada sepenuhnya merupakan hasil kesepakatan antar
manusia. Atas dasar itulah Konferensi Meridian Internasional digelar di
Washington (AS). Seperti halnya percaturan global saat ini, konferensi tersebut
pun dipenuhi negara-negara kuat yang saling bersaing. AS mengusulkan garis
bujur Washington, sementara Inggris maju dengan garis bujur Greenwich dan
Perancis bersikukuh dengan garis bujur Paris-nya. Persaingan dimenangkan
Inggris, didasari fakta bahwa 70 % armada pelayaran saat itu telah menggunakan
garis bujur Greenwich sebagai patokan waktu. Jadi Greenwich terpilih hanya
karena paling populer.
Sehingga garis bujur yang melintasi kompleks Royal
Observatory of Greenwich ditetapkan sebagai garis bujur nol. Sebelah barat dari
garis ini menjadi kawasan Bujur Barat (BB) sementara sebelah timurnya kawasan
Bujur Timur (BT). Sebaliknya garis bujur pasangan Greenwich, yang ditetapkan
sebagai garis 180 BB atau garis 180 BT, dinyatakan sebagai garis batas tanggal
internasional. Meski demikian Perancis rupanya dongkol dan tetap menggunakan
garis bujur Paris-nya sebagai bujur nol hingga bertahun-tahun kemudian.
‘Pemberontakan’ Perancis berakhir pada 1919 tatkala negara itu memutuskan mulai
menggunakan garis bujur Greenwich sebagai bujur nol, sebagai balas budi atas
bantuan Inggris dan AS selama Perang Dunia I.
Meski persoalan telah usai bagi sebagian besar isi dunia,
namun tidak demikian halnya bagi kawasan Pasifik. Secara tradisional garis
bujur 180 BB/BT merupakan garis tanggal sebab selisih waktu lokalnya = 180/15 =
12 jam terhadap waktu Greenwich, baik lebih cepat maupun lebih lambat.
Masalahnya sejumlah negara di sini dibelah garis bujur tersebut. Negara-negara
tersebut kecil dan tidak bersuara banyak dalam percaturan global, sehingga
melawan keputusan Konferensi Meridian Internasional 1884 menjadi tidak mungkin.
Maka solusi satu-satunya yang memungkinkan adalah menggeser lokasi garis
tanggal yang melintasi negara mereka sehingga tidak lagi membelah wilayahnya,
tak peduli bahwa pergeseran itu menyebabkan garis tanggal tidak lagi berimpit
dengan garis bujur 180 BB/BT.
Itulah yang dilakukan Kiribati. Negara ini terletak di
antara garis bujur 175 BT hingga 150 BB. Sebelum 1995 terdapat tiga zona waktu,
masing-masing GMT+1, GMT-12 dan GMT-11. Pembagian zona waktu seperti ini
menyulitkan administrasi dan pengaturan waktu sipil di Kiribati. Bayangkan,
bila Kiribati bagian barat sudah memasuki hari Senin 3 Januari 1994 misalnya,
sementara Kiribati bagian tengah dan timur masih hari Minggu 2 Januari 1994.
Sehingga di Kiribati bagian barat sudah memasuki hari kerja, sementara bagian
tengah dan timur justru masih menikmati hari liburnya. Kesulitan semacam inilah
yang mendorong Kiribati menyatukan semua hari dan tanggal di seluruh wilayahnya
sejak 1995 dengan menggeser posisi garis tanggal ke batas timur negaranya,
yakni mendekati garis 150 BB. Perubahan ini membuat zona waktu di Kiribati
turut berubah, yakni menjadi GMT+12, GMT+13 dan GMT+14. Alhasil pasca 1995
bentuk garis tanggal internasional jadi unik karena meliuk lebih dari 3.000 km
ke timur di sekitar khatulistiwa’.
16 tahun kemudian giliran Samoa dan teritori Tokelau
mengikuti jejak Kiribati. Kini alasan yang mereka gunakan adalah hubungan
perdagangan yang intensif dengan Australia dan Selandia Baru. Sebelum akhir
2011, waktu lokal Samoa 21 jam lebih lambat ketimbang Sydney. Sehingga jika
Perdana Menteri Australia di hari Senin (menurut waktu lokal Sydney)
menghubungi rekannya di Samoa untuk keperluan mendadak, rekannya masih berada
di hari Minggu (menurut waktu lokal Samoa) yang adalah hari libur. Inilah
hambatan yang harus diatasi dalam mengintegrasikan Samoa dan Tokelau ke kawasan
perdagangan Pasifik selatan. Keputusan Samoa dan Tokelau menyebabkan hari Senin
di Sydney adalah juga hari Senin di Samoa dan Tokelau. Bedanya, Samoa 3 jam
lebih cepat dibanding Sydney sementara Tokelau 4 jam lebih cepat.
Perubahan zonasi zona waktu sebenarnya kerap
dilakukan sejumlah negara, termasuk Indonesia, berdasarkan keputusan politis
dan sesuai kepentingan negara yang bersangkutan. Sebelum 1973 Indonesia
memiliki 6 zona waktu, yakni mulai GMT+6,5 hingga GMT+9 yang masing-masing
berselisih 0,5 jam. Ini adalah pembagian zona waktu warisan Hindia Belanda.
Karena dirasa ribet, keenam zona waktu tersebut kemudian disederhanakan menjadi
tiga zona waktu seperti sekarang kita kenal, yakni WIB, WITA dan WIT yang
masing-masing berselisih 1 jam. Penyesuaian kecil dilakukan pada 1988 yang
mengubah komposisi pulau Kalimantan dalam zona WIB dan WITA. Kelak pun akan
dilakukan perubahan lagi seiring bergaungnya usulan untuk membentuk Waktu
Kesatuan Indonesia (WKI), yang bakal menghapus zonasi WIB, WITA dan WIT secara
menyeluruh.



